8月26日訊:近日,據(jù)印尼當(dāng)?shù)孛襟w報(bào)道,政府計(jì)劃加快對鎳礦石出口的禁令,該禁令將于2022年生效。企業(yè)家實(shí)際上并不介意下游問題,而是要求改善首先供應(yīng)給冶煉廠的鎳貿(mào)易體系。
針對這一情況,海上事務(wù)協(xié)調(diào)部長Luhut Binsar Pandjaitan在接受CNBC印度尼西亞采訪時(shí)表示,這項(xiàng)禁令是政府通過加工原材料增加鎳產(chǎn)品出口的一部分,以便能夠生產(chǎn)具有附加值的出口產(chǎn)品,并最終減少經(jīng)常賬戶的赤字。
Luhut在接受CNBC印度尼西亞采訪時(shí)表示:“有人說中國游說到印度尼西亞,中國的游說團(tuán)體是什么?對中國的出口?不要逆轉(zhuǎn),因?yàn)樗羞@些出口主要是對中國誰有增值?中國是對的?,F(xiàn)在有26個(gè)IUP更愿意犧牲,不僅僅是因?yàn)槟憧梢垣@利,所以你可以繼續(xù)出口?!彼€表示,他將修復(fù)貿(mào)易體系,包括實(shí)施鎳企業(yè)家所傳達(dá)的國內(nèi)鎳礦銷售價(jià)格。
Luhut表示,“有一些東西需要改進(jìn)(貿(mào)易體系),我們也不希望在這里冶煉的企業(yè)家都設(shè)定價(jià)格,政府將設(shè)定價(jià)格,以便IUP所有者也以合理的價(jià)格進(jìn)入冶煉廠?!?br/>此前,印度尼西亞鎳礦業(yè)協(xié)會(APNI)秘書長Meidy K Lengkey透露了她的一方抱怨政府沒有加快實(shí)施禁止出口鎳礦的禁令的原因。原因是到目前為止,企業(yè)家依賴出口配額。Meidy表示,“我們被要求輪換,可能會出口礦石,但我們必須建造一個(gè)冶煉廠,資金來自哪里?”
此外,這也涉及售價(jià)。如果追查,它可以從國內(nèi)買家開始,其中大部分需求鎳礦石的水平高于1.8%。同時(shí),對于出口,最高許可水平僅為1.7%。事實(shí)上,政府已經(jīng)確定了作為政府特許權(quán)使用費(fèi)基礎(chǔ)的礦物基準(zhǔn)價(jià)格(HPM),并指定了五名測量員,即Sucofindo,Surveyor Indonesia,Carsurin,Geo Service和Anindya來確定最高品味,HPM,特許權(quán)使用費(fèi)和PPh等。
Meidy表示:“但是,當(dāng)鎳礦石被賣給國內(nèi)冶煉廠買家時(shí),他們不使用政府指定的五名測量員,使用Intertek。買家確定他們必須在CIF /卸貨港口使用Intertek?!边@種影響,這對國家企業(yè)家獲得的鎳礦石的銷售價(jià)格有影響,結(jié)果遠(yuǎn)遠(yuǎn)低于出口價(jià)格的收購。即使出售的鎳礦石品位很高。此外,他還強(qiáng)調(diào)了國家鎳企業(yè)家所遭受的不公正待遇。這與提供特許權(quán)使用費(fèi)和PPh礦石有關(guān)。
Meidy解釋說,有兩種類型的鎳礦開采許可證,即采礦業(yè)務(wù)許可證(IUP)和工業(yè)業(yè)務(wù)許可證(IUI)。
到目前為止,政府只對僅擁有IUP的公司征收版稅和PPh,而沒有規(guī)則要求IUI支付這兩件事。事實(shí)上,如果IUI支付版稅和PPh,國家收入將更高。
Meidy總結(jié)道“IUI是免版稅的,沒有強(qiáng)制性的特許權(quán)使用費(fèi)。這不公平,不是嗎?我們都生產(chǎn)相同的商品,但我們?yōu)槭裁匆獏^(qū)別對待,即使我們是國家企業(yè),我們自己的親生兒?!?br/>為了更好的了解消息,以下是原文的鏈接與更為詳細(xì)的原文:
》點(diǎn)擊查看原文鏈接
》原文:
Luhut Buka-bukaan Larang Ekspor Nikel, Ini Alasan Utamanya
Jakarta, CNBC Indonesia?- Pemerintah berencana untuk mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel, yang semestinya berlaku pada 2022 mendatang. Para pengusaha sebenarnya tidak keberatan soal hilirisasi namun meminta pembenahan tata niaga nikel yang dipasok ke smelter terlebih dahulu.
Menanggapi hal ini, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pelarangan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor produk nikel melalui pengolahan raw material sehingga dapat menghasilkan produk ekspor yang memiliki nilai tambah, dan pada akhirnya mampu mengurangi defisit transaksi berjalan.
"Ada yang bilang lobi-lobi China ke Indonesia, lobi-lobi China apa? Untuk ekspor ke China? Jangan dibalik-balik dong, karena semua ekspornya itu hampir sebagian besar ke Tiongkok yang nikmati nilai tambah siapa? Tiongkok kan. Sekarang yang punya 26 lebih IUP itu ya mau juga berkorban dong, jangan hanya karena dapat untung berapa ya terus ekspor saja," tegas Luhut dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
Ia pun mengatakan, akan membenahi tata niaga perdagangan, termasuk pengenaan harga jual bijih nikel domestik, seperti yang disampaikan oleh para pengusaha nikel.
"Ada yang perlu dibenahi (tata niaga), kami juga tidak mau pengusaha yang smelter di sini itu semua yang atur harga, pemerintah yang akan atur harga itu, supaya pemilik-pemilik IUP tadi juga masok ke smelter sini dengan harga yang pantas," tutur Luhut, Jumat (23/8/2019).
"Nah, itu yang kami mau benahi, dan saya sudah bilang, eh kalian tidak boleh dong sampai 10 dolar beda harganya sama harga internasional," tambah Luhut.
Untuk itu, lanjut Luhut, contoh pembenahan aturannya bisa dengan mekanisme harga batas atas dan batas bawah.
"Iya bisa begitu, kami bikin mekanisme itu tentu bukan hal yang sulit," pungkas Luhut.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan alasan mengapa pihaknya kekeuh agar pemerintah tidak mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel.
Pasalnya, selama ini pengusaha nasional bergantung pada kuota ekspor.
"Kami diminta untuk melakukan penghiliran, boleh ekspor ore tapi harus bangun smelter, modalnya darimana? Dari ekspor," ungkap Meidy saat dijumpai di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Di samping itu, ini juga menyangkut soal harga jual. Jika dirunut, bisa dimulai dari pembeli domestik yang mayoritasnya meminta bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
Tentunya, besaran kadar berpengaruh pada harga. Sebab, semakin tinggi kadar, tentu output yang dihasilkan juga tinggi, kemudian penjualan tinggi karena harganya juga tinggi. Pendapatan besar.
Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan tinggi kadar, HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut.
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Dampaknya, ini berpengaruh pada harga jual bijih nikel yang didapatkan oleh pengusaha nasional, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perolehan harga ekspor. Padahal bijih nikel yang dijual adalah yang berkadar tinggi.
"Harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.
i samping itu, pihaknya pun menyoroti ketidakadilan yang dialami pengusaha nikel nasional. Hal ini terkait dengan pemberian royalti dan PPh ore.
Meidy menjelaskan, ada dua jenis izin yang dikeluarkan untuk pertambangan nikel, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut. Padahal, jika IUI membayar royalti dan PPh, pemasukan negara akan lebih besar.
"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri," pungkas Meidy.?(hps)